Gerakan buruh telah lama diusung sebagai media untuk mengantarkan buruh
ke pintu gerbang kesejahteraan. Gerakan buruh pada awalnya sebagai
reaksi atas penindasan kaum pengusaha. Penindasan tersebut berupa upah
rendah, jam kerja panjang, tidak adanya jaminan kerja serta jaminan hari
tua. Sesuai dengan namanya “gerakan”, sejak awal GB merupakan gerakan
politik. Kelahirannya sangat ditentukan oleh perkembangan ideologi buruh
yang pada masa itu sudah sangat kosmopolitan. Dalam konteks nasional
sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1905 berdiri serikat
buruh kereta api (Staats Spor Bond-SS-Bond). Namun gerakan
buruh di Indonesia yang telah berusia lebih dari satu abad tersebut
mengalami pasang surut. Puncaknya pada masa Orde Baru dimana pada saat
itu pemerintah menerapkan sistem Single Union. Reformasi pergerakan
buruh kembali semarak setelah pemerintah ratifikasi konvensi ILO No. 101
kebebasan buruh untuk berserikat. Adanya ratifikasi tersebut memberikan
angin segar bagi kaum buruh karena setiap buruh memiliki hak yang sama
dan kebebasan untuk membentuk konfederasi ataupun serikat pekerja.
Namun demikian euforia yang melanda kaum buruh di Indonesia ini
justru menurut penulis menjadi jebakan dalam meningkatkan kesejahteraan
buruh. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pertama dengan banyaknya
konfederasi maupun serikat maka akan banyak fragmentasi, pemikiran dan
perjuangan yang akan diusung. Akibatnya antar konfederasi/serikat
pekerja menjadi bias suara ketika menghadapi keputusan pengusaha maupun
pemerintah. Dalam konteks lain baik pengusaha maupun pemerintah juga
bingung dalam menentukan konfederasi yang benar-benar merepresentasikan
suara buruh.
Akibatnya saat ini gerakan buruh dapat berakibat
kepada menurunkan kesejahteraan. Karena buruh tidak memiliki lagi daya
tawar yang tinggi terhadap pengusaha maupun pemerintah. Berdasar data
ILO sejak tahun 2011 jumlah buruh di Indonesia ada 90 federasi, 5
konfederasi besar dan 11.0000 SP/SB di tingkat PUK dengan total jumlah
keanggotaan 3 juta. Melihat fenomena banyaknya serikat buruh berarti
akan memperbanyak elite buruh dan kepentingan. Oleh karena itu timbul
pertanyaan dengan adanya kebebasan berserikat apakah justru akan
menjebak gerakan buruh? Memperlemah gerakan buruh? Pertanyaan tersebut
sangat relevan karena sejak kran reformasi dibuka kondisi buruh tidak
mengalami perubahan yang berarti. Hal tersebut bertolak belakang dengan
semangat kebebasan berserikat bagi kaum buruh. Sesuai dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 17 bahwa pembentukan serikat
pekerja/buruh bertujuan membela melindungi dan meningkatkan
kesejahteraan.
Kemudian hingga saat ini, 14 tahun pasca
reformasi kondisi buruh masih jauh dari harapan. Hal tersebut dapat
diamati ketika penentuan upah minimum selalu diwarnai aksi demo oleh
buruh. Sehingga bisa dikatakan bahwa demo buruh tersebut seperti
rutinitas tahunan dan tidak ada solusinya. Karena upah yang diterima
buruh belum sesuai standar kehidupan layak (KHL). Meskipun upah buruh
naik namun dalam kenyataannya tidak mampu mengimbangi naiknya inflasi.
Maraknya demo tersebut karena longgarnya undang-undang tentang kebebasan
berserikat bagi kaum buruh. Oleh karena itu menurut hemat penulis perlu
adanya revisi terhadap UU No. 21 Tahun 2000 Pasal 5 Ayat 2 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dimana menyebutkan pembentukan serikat
pekerja sekurang-kuranya 10 orang. Syarat tersebut perlu direvisi dan
diperketat misalnya syarat jumlah anggota jika ingin mendirikan serikat,
berlaku secara nasional ada perwakilannya di setiap propinsi di
Indonesia. Tujuan memperketat adalah agar memperkecil jumlah serikat
buruh sehingga buruh dapat bersatu bahkan bisa fusi dari berbagai
serikat buruh menjadi satu. Sehingga gerakan buruh menjadi kuat.
Meskipun saat ini beberapa konfederasi telah bergabung dalam Majelis
Pekerja Buruh Indonesia namun perjuangannya belum seluruhnya mampu
mengangkat buruh ke depan pintu kesejahteraan. Meskipun beberapa masalah
telah mampu disuarakan dan di setujui oleh pemerintah.
Selama
ini gerakan buruh cenderung reaktif sehingga menuai kecaman dari
masyarakat. Seperti menutup tol sebagai salah satu solusi menyelesaikan
kasus buruh. Dan ini berdampak sangat luar biasa. Sebenarnya ada cara
yang lebih elegan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu dengan
perundingan. Namun kadang perundingan jalan di tempat, karena posisi
buruh selalu lemah dihadapan pengusaha. Dalam hal ini, posisi pemerintah
sangat diperlukan sebagai penengah dan pengawas pelaksanaan kesepakatan
tersebut. Sehingga gesekan-gesekan buruh dan pengusaha dapat ditekan
jumlahnya.
Melihat permasalahan diatas kiranya diperlukan
strategi-strategi baru dalam gerakan buruh di Indonesia. Sehingga
gerakan buruh yang bertujuan mencapai gerbang kesejahteraan dapat
tercapai. Strategi pertama adalah pembentukan partai buruh. Meskipun
bertentangan dengan standar baku wadah serikat buruh dunia (ITUC) yang
menyatakan serikat buruh harus independen. Namun menurut penulis
pembentukan partai buruh merupakan hal sangat mendesak. Selain itu
pembentukan partai buruh merupakan representasi bagi perjuangan kaum
buruh. Hal tersebut memungkinkan karena pertama jumlah buruh sangat
besar mencapai 30,72 juta (BPS, Februari 2010). Jika mampu memanfaatkan
suara buruh ini baik dari buruh sendiri dan keluarganya maka wakil buruh
dapat duduk di parlemen. Dengan demikian suara buruh mampu mempengaruhi
konstalasi politik tanah air. Karena dengan dapat duduk diparlemen maka
suara buruh mampu mempengaruhi kebijakan, bukan hanya berkaitan dengan
kepentingan buruh semata namun kepentingan masyarakat secara luas.
Kedua,
buruh akan memiliki posisi tawar yang tinggi jika mampu membentuk
partai sendiri. Karena dengan adanya partai buruh maka suara buruh tidak
akan terpecah-pecah dan tidak menjadi lumbung suara partai-partai
lainnya. Belajar dari sejarah, pasca reformasi dimana pada saat itu ada
partai yang menggunakan platform buruh namun hanya memperoleh suara
tidak lebih dari 3 persen. Dari pengalaman tersebut dapat disimpulkan
bahwa banyaknya serikat buruh mengakibatkan suara buruh belum bersatu.
Buruh terkotak-kotak ke dalam berbagai ideologi dan kepentingan. Selain
itu rendahnya partai-partai yang memiliki platform buruh
mendapatkan suara yang rendah didapatkan bisa diasumsikan apakah tokoh
tersebut benar-benar mewakili kaum buruh. Seharusnya model partai buruh
di negara maju dapat diadopsi meskipun ada perbedaan yang signifikan
antara kondisi buruh di negara maju dengan di negara Indonesia.
Strategi
kedua adalah menguatkan peran buruh sebagai satu element pilar
demokrasi. Karena gerakan-gerakan buruh ini sebagai gerakan perubahan
sosial. Gerakan untuk melawan ketidakadilan dan tidak meratanya
kesejahteraan buruh. Namun demikian gerakan buruh ini seyogyanya
mengikuti perkembangan dunia. Sehingga gerakan buruh tersebut mampu
mengimbangi eskpansi kaum kapital. Jika tidak mampu mengimbangi, maka
buruh akan semakin tenggelam dalam kungkungan kapitalisme global.
Sumber : http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-nasional/836-gerakan-buruh-dan-kesejahteraan.html
'Maaf Chelsea, tapi Kali Ini Giliran Bayern'
-
[image: AFP/ODD ANDERSEN]
*Medan* - Tahun lalu Bayern Munich pernah dibuat terluka amat dalam oleh
Chelsea. Kali ini nasib berkata lain dan dewi ...
11 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar